Follow Us @lifearahma

Kamis, 04 September 2014

Pelangi di Ujung Timur

Kamis, September 04, 2014 0 Comments
Sang surya mulai menampakkan dirinya di bentangan langit, membagi kehangatan sinarnya kepada sang bumi. Yang membuatku saat itu mulai terbangun karna sinarnya yang mulai merembes membuat kamar yang semula gelap kini menjadi terang. Kokokan ayam juga membuat kelopak mataku yang tengah terlelap, membuat kelopak mataku terbuka perlahan dan menampilkan sepasang mataku. Aku sudah terbiasa untuk bangun pagi. Aku juga tinggal dengan nenekku, orang yang paling terpenting dalam hidupku. Aku tidak mungkin membiarkan nenekku untuk bekerja keras sendiri. Ya wajarlah, dirumah tidak ada sosok lelaki yang mampu untuk menompang keuangan keluargaku.
Setiap pagi, aku bergegas menuju ke rumah Pak Benta untuk mengabil sagu. Itulah pekerjaan nenekku sebagai pengolah sagu. Kampungku memeng terkenal dengan sagu yang mempunyai kualitas bagus.
“Pelangi, hari ini kamu mendapatkan jatah 5 kg sagu”
Pelangi, itulah panggilanku. Mungkin orang-orang di desaku berfikir bahwa aku tak sama seperti mereka. Di desaku, hanya aku saja yang berkulit putih. Aku tidak tahu asal usulku hingga aku berada dan tinggal di desa ini .
“Baiklah pak, saya permisi dulu.”
“Ya, pulanglah kau, bantu nenekmu itu” Ujar Pak Benta sambil melambaikan tangan kepadaku.
Aku mulai mengangkat karung yang berisi sagu-sagu. Dan kebiasaanku sebelum pulang yaitu aku harus mencari kayu-kayu untuk bahan memasak sagu. Orang-orang di desaku termasuk aku dan nenekku masih menggunakan kayu bakar. Dan masih belum ada warga di desaku menggunakan alat masak seperti kompor .
Sekiranya kayu-kayu ini cukup untuk memasak, aku mulai mengikat dan membawa pulang. Punggungku sudah terbiasa untuk membawa beban seberat ini. Setibanya aku dirumah, aku mulai menyerahkan sagu-sagu ini kepada nenekku. Dan aku bergegas untuk pergi ke sekolah.
Untuk saat ini, aku duduk di bangku SMP kelas 2. Aku amat sangat bersyukur, Tuhan memberiku kesempatan untuk sekolah. Untuk bersekolah, aku dan temanku Poneta harus menempuh jarak yang cukup jauh.
“Setiap pagi, kita harus menempuh jarak yang cukup jauh. Turun sungai , lewat jembatan yang gak layak gini. Energy kita udah habis diperjalanan.” Ujar Poneta dengan muka sedikit murung.
“Kamu tidak boleh bicara seperti itu Poneta. Kita harus bersyukur bias melanjutkan sekolah. Kita harus bersyukur bias melanjutkan sekolah. Apa kamu tidak melihat teman-teman 
yang kita yang putus sekolah. Apa kamu  akan menyianyiakan kesempatan ini hanya karena rasa capekmu itu ?” Ujar Pelangi dengan penuh keyakinan.
“Bener juga sih, harus semangat !”
“Kita harus melakukan ini semua dengan rasa senang, pasti capek yang kamu rasakan saat ini akan hilang. Apalagi dalam menuntut ilmu.”
Poneta memang sering mengeluh. Apalagi saat rasa capek itu benar –benar melekat pada diri Poneta yang sangat mungil itu. Disaat seperti itulah aku mulai terus memberinya semangat.
Hari ini Pak Bone guru pelajaran IPA memberi materi tentang manfaat air. Dari pelajaran ini, Pak Bone memberiku inspirasi untuk melakukan sesuatu untuk perubahan di desaku. Dari pelajaran ini, aku mengetahui bahwa air dapat memberikan energy listrik dengan bantuan kincir air. Setelah pulang sekolah, aku membantu mengolah sagu-sagu ini dan segera mengirimkan ke rumah pak Benta. 
“Nek, sagu ini sudah Pelangi selelsaikan. Pelangi pamit untuk mengirim sagu-sagu ini ke Pak Benta.”
“Iya nak, kamu hati-hati ya.”
“Iya nek”
Di sepanjang jalan, aku terus memikirkan tentang rencana membuat tenaga listrik dengan air. Karena di desaku memang mempunyai sungai-sungai meskipun tidak terlalu besar. Dan setidaknya air-air itu untuk pembangkit listrik de desaku. Setelah sampai, ternyata di rumah pak Benta ada bapak kepala desa. Pikirku ini waktu yang pas untuk menyampaikan ideku ini kepada Pak Benta dan Pak Kades.
“ Permisi bapak, saya mengganggu.” Ujar Pelangi dengan lirih.
“Iya Pelangi, kau ingin mengantarkan sagu-sagu itu kepada ku?” Ujar Pak Benta.
“Iya pak, sebenarnya saya juga ingin berbicara sesuatu .”
“Bicara apa? Ayo duduk dulu.”
“Terimakasih sebelumnya pak, saya ingin bicara untuk kemajuan desa ini pak. Saya punya rencana, bahwa saya ingin membuat kincir air dengan bantuan generator. Agar desa ini bias merasakan keberadaan listrik. Apa salahnya kita memanfaatkan air-air sungai di desa kita pak.”
“Benar juga, kita juga tidak mungkin terus memakai obor untuk penerangan di desa kita.” Ujar Pak Kades.
“Lalu apa yang bisa kita bantu untuk kelancaran dari rencanamu itu?” Ujar Pak Benta.
“Saya minta partisipasi dari Bapak-bapak yang ada di desa ini. Untuk membuat kincir air.”
“Baik, hari ini saya akan memberikan warga desa untuk membantu pembuatan listrik alternative ini.” Ujar Pak Kades dengan penuh semangat.
Aku sangat lega sekali, ideku ini dapat diterima oleh warga desa. Dan keesokan harinya, aku , Ponita beserta warga lain iku membantu membuat pembangkit listrik dengan tenaga air. Setelah 3 hari pembuatan, semuanya sudah mulai hamper selesai. Karna Pak Kades sebagai ketua dalam pembuatan rencana ini, mencoba untuk menyalakan generator. Dan pada akhirnya listrik di desaku sudah menyala dan desaku sudah tidak membutuhkan obor lagi untuk penerangan. Aku merasa senang, saat orang-orang disekitarku tertawa lepas dan ada juga yang bersujud syukur atas hadirnya listrik tenaga air ini. Aku juga merasa senang, ilmuku tidak hanya bermanfaat bagi diriku tetapi untuk orang-orang disekitarku.